Flash Effect

Wednesday, May 22, 2013

PERKEMBANGAN OBAT TRADISIONAL



KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini yang alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul “PERKEMBANGAN OBAT TRADISIONAL”

Makalah ini berisikan tentang informasi OBAT atau yang lebih khususnya membahas perkembangan obat tradisional di Indonesia,  Diharapkan Makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua tentang Perkembangan Obat Tradisional.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.
Makassar, Maret 2013

Ananda Lisda Putri
BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Saat ini obat tradisional banyak beredar di pasaran, dari desa-desa sampai ke kota sudah mengenal akan obat tradisional, yang terbuat dari bahan-bahan alami yg diambil dari alam. Bahkan saat ini masyarakat lebih dominan condong ke obat tradisional. Menurut mereka, obat tradisioal tidak menimbulkan efek yang membahayakan bagi kesehatan tubuh selain itu harganya murah dapat di jangkau di berbagai kalangan masyarakat.
Kalau begini pabrik obat-obat kimia semakin mempunyai banyak saingan, bukan hanya saingan terhadap sesama pabrik obat-obat kimia melainkan bersaing juga terhadap pabrik obat tradisional. Seharusnya pabrik obat-obat kimia berusaha mengembalikan kepercayaan masyarakat tentang obat kimia menimbulkan efek samping yang lebih besar daripada obat-obat tradisional, dan seharusnya pabrik obat-obat kimia lebih menginovasi produk-produknya dan meminimalkan efek samping yang terkandung dalam obat-obat kimia..




BAB II
PEMBAHASAN
Obat yang beredar sekarang ini tak lepas dari perkembangan obat di masa lalu..
Perlu diketahui bahwa penemuan obat jaman dahulu berawal dari coba-mencoba yang dilakukan oleh manusia purba. Bahasa kerennya sich '"EMPIRIS" .Empiris berarti berdasarkan pengalaman dan disimpan serta dikembangkan secara turun-temurun hingga muncul apa yang disebut Ilmu Pengobatan Rakyat atau yang lazimnya disebut Pengobatan Tradisional Jamu.
      Akan tetapi, tidak semua obat “memulai” sejarahnya sebagai obat anti penyakit. Ada obat yang pada awalnya digunakan sebagai racun seperti strychnine & kurare yang digunakan sebagai racun-panah oleh penduduk pedalaman Afrika. Contoh yang paling up to date adalah nitrogen-mustard (awalnya digunakan sebagai gas beracun saat perang dunia pertama) sebagai obat kanker.
Sudah banyak zat-zat kimia yang berhasil diisolasi, seperti efedrin (dari tanaman Ma Huang – Ephedra vulgaris), digoksin (digitalis lanata), genistein (dari kacang kedelai) dan lainnya.
Baru sekitar pada permulaan abad ke-20, obat-obat kimia sintetis mulai “menampakkan diri”. Aspirin salah satu indikator kemajuan obat kimia sintetis saat itu. Pada tahun 1935 terjadi gebrakan dalam penemuan dan penggunaan kemoterapeutika sulfanilamid yang disusul penisilin pada tahun 1940. Seperti diketahui bersama, secara tradisional, sebenarnya luka bernanah dapat disembuhkan dengan menutupinya dengan kapang-kapang dari jenis tertentu, tetapi baru sekitar tahun 1928 khasiat ini baru diselidiki secara ilmiah oleh Dr. Alexander Fleming. Dari hasil penelitian Dr. Alexander Fleming, ditemukanlah penisilin.
Sejak saat itu, beribu-ribu zat sintetis diketemukan (diperkirakan sekitar 500 zat per tahun-nya). Hal ini membuat perkembangan di bidang Farmakoterapi meningkat pesat.
Secara umum, kebanyakan obat “kuno” telah ditinggalkan dan diganti obat yang lebih “modern”. Eits, bukan berarti obat modern bisa “santai”, sebab persaingan selanjutnya adalah antar sesama obat modern. Pasalnya obat modern dapat terganti dengan obat modern yang lebih baru dan lebih berkhasiat serta lebih efektif.
Meski begitu, diperkirakan lebih dari 78% obat yang beredar sekarang adalah merupakan hasil dari penemuan tiga dasawarsa terakhir.
       nah,sekarang sudah tahu kan kawan bagaimana sejarah obat dari jaman purba hingga sekarang ini ..
semoga tulisan ini bermanfaat bagi kalian yang mencari ilmu perkembangan sejarah obat tradisional.

Bentuk obatan-obatan tradisional yang paling menguntungkan secara finansial adalah obat-obatan herbal yang memang oleh Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO telah dinyatakan dapat mengobati penyakit kronis.
Salah satunya adalah obat malaria yang dikembangkan dari penemuan zat artimisinin yang ditemukan dari tumbuhan Artemisia annua L, tanaman yang telah digunakan oleh masyarakat Cina sejak 2000 tahun lalu.
Bahkan, negara-negara berkembang di seluruh dunia mulai menggunakan obat tradisional termasuk didalamnya akupuntur. Ya, saat ini, sebesar 70%-80% dari total populasi di negara-negara berkembang telah menggunakan pengobatan alternatif.
Obat tradisional menurut WHO adalah keseluruhan dari pengetahuan, keterampilan, dan praktek berdasarkan teori, kepercayaan, dan pengalaman asli setempat yang digunakan untuk pemeliharaan kesehatan dan pengobatan penyakit fisik dan mental.
Obat tradisional termasuk di dalamnya obat-obatan herbal, pijat, akupuntur, dan lainnya. Obat-obatan herbal telah mendapat tempat tersendiri di hati masyarakat dunia.
Ini dibuktikan dengan banyaknya pendapatan dari adanya perdagangan obat-obatan herbal di Eropa Barat, Cina, dan Brazil. Obat herbal dapat mengobati berbagai keluhan yang mereka adukan kepada dokter.
Masalah yang meliputi kesehatan jantung dan sirkulasi darah termasuk didalamnya angina, tekanan darah tinggi, dan varises bisa dirawat dengan obat-obatan herbal.
Begitu juga dengan penyakit yang berhubungan dengan ginekologi seperti menstruasi dan menopause. Di samping itu, obatan-obatan herbal tanpa bahan kimia juga dapat menanggulangi penyakit seperti insomnia, migrain, influenza, asma, demam, dan reaksi alergi lainnya.
Bagaimana dengan keamanananya? Ada banyak orang yang menganggap bahwa obat-obatan herbal berasal dari tumbuhan sehingga obat-obat ini tidak memiliki efek samping. Namun, faktanya obat-obatan herbal bisa saja berbahaya dan memiliki efek buruk jika kualitas obat-obatan herbal sangat rendah.
Tak hanya itu, tak sedikit pula orang-orang yang berkecimpung dalam dunia medis menolak penggunaan obat-obatan herbal akibat belum adanya banyak penelitian tentang kandungan obat-obatan herbal dan efeknya bagi tubuh.
Meski demikian, Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO telah membuat strategi untuk mendukung dan mengintegrasikan pengobatan tradisional termasuk didalamnya obat-obatan herbal ke dalam sistem kesehatan nasional bagi negara-negara anggota WHO.
Organisasi ini juga akan memastikan bahwa pengobatan tradisional yang dipasarkan memiliki kualitas yang baik serta penggunaanya aman bagi masyarakat dunia. Selain itu, WHO juga akan mengakui pengobatan tradisional sebagai bagian dari perawatan kesehatan primer.
Tentu saja, misi ini akan menjadi tantangan tersendiri bagi Organisasi Kesehatan Dunia sebab tidak banyak negara yang memiliki regulasi tentang obat tardisional.
Selain itu, penelitian tentang berbagai macam pengobatan herbal harus ditingkatkan untuk kepentingan misi WHO. Namun, menilai kualitas suatu produk obat herbal terbilang cukup kompleks karena harus melihat sumber tanaman tradisional dan proses pengolahannya.
 
Tulisan ini: “Prospek Pengembangan Herbal Masa Depan: dari komoditas ke merek (branding)”, pernah dimuat pada  Herba Magazine, Edition: July, 2006.
Tanaman obat (herbal medicine) selama ini sudah banyak digunakan sebagai alternatif pengobatan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia; namun baru sedikit yang dikemas sebagai “brand” yang mampu bersaing dengan obat kimia lainya; padahal bahan baku herbal ini banyak tersedia dengan harga murah dan mudah didapat; mengapa potensi ini tidak dikembangkan dan menjadi andalan bagi industri farmasi di Indonesia di masa depan?
Apalagi ketika nilai tukar rupiah jatuh. Dimana bahan baku obat kimia impor juga ikut naik akibat melemahnya nilai rupiah. Sehingga harga obat-obatan kimia ’bermerek’ mulai menyesuaikan diri dengan kenaikan harga bahan baku impor. Akibatnya sebagian besar masyarakat Indonesia yang berpenghasilan ’pas-pasan’ sangat sulit untuk menjangkau harga obat kimia yang membumbung tinggi. Oleh karena itu, alternatif yang ditempuh adalah pengembangan obat-obatan bersumber bahan baku dari alam.
Obat alami (secara tradisional dikenal dengan nama jamu) dan di dunia farmasi sekarang lebih dikenal dengan sebutan herbal medicine sejak dulu sudah digunakan oleh nenek moyang secara turun temurun sebagai alternatif mengatasi permasalahan kesehatan.
Obat alami (herbal medicine) adalah sediaan obat, baik berupa obat tradisional atau fitofarmaka, yang berupa simplisia (bahan segar atau yang dikeringkan), ekstrak, kelompok senyawa atau senyawa murni yang berasal dari alam, baik yang berasal dari sumber daya alam biotik (jasad renik, flora dan fauna, serta biota laut) maupun abiotik (meliputi sumber daya daratan, perairan dan angkasa dan mencakup kekayaan/potensi yang ada di dalamnya) (Hera Maheshwari, 2002).
Trend self medication di Indonesia
Perkembangan obat alami ini, selaras dengan kesadaran masyarakat akan pentingnya upaya pencegahan dari pada pengobatan penyakit 1); perkembangan obat-obat tanpa resep dokter (OTC); dan imbauan Depkes akan perlunya upaya back to nature sebagai upaya pencegahan penyakit sehingga berkembangnya trend pengobatan sendiri (self medication) di masyarakat Indonesia.
Dari segi harga, obat alami ini relatif lebih murah, karena bahan bakunya murah, mudah, dan banyak tersedia; sehingga harga obat-obatan herbal ini dapat terjangkau oleh masyarakat Indonesia. Bandingkan dengan obat-obat kimia yang relatif lebih mahal; disebabkan sekitar 90% bahan baku obat tersebut harus di impor dari luar negeri; antisipasinya adalah perlu bagi industri farmasi Indonesia untuk mengembangkan dan meningkatkan penelitian produk obat-obatan dari bahan-bahan alami.
Pasar obat herbal di Indonesia sendiri masih cukup memiliki potensi yang baik untuk dikembangkan. Masyarakat Indonesia sudah cukup familiar dengan tanaman obat. Dari zaman dahulu, secara turun temurun pengobatan yang dilakukan oleh pendahulu kita dilakukan dengan menggunakan tanaman obat.
Hebal medicine kalangan Medis
Dalam upaya mengembangkan obat tradisional, ketersediaan bahan baku, ketersediaan obat dalam jenis dan jumlah yang cukup, keterjaminan kebenaran khasiat, mutu dan keabsahan obat yang beredar, serta perlindungan masyarakat dari penyalahgunaan obat yang dapat merugikan/membahayakan masyarakat merupakan faktor yang menentukan keberhasilan pengembangan. Dalam kondisi seperti saat ini, upaya yang paling tepat adalah mendorong pengembangan obat tradisional ke arah fitofarmaka [produk yang sudah teruji secara klinis], dengan harapan dapat mengurangi ketergantungan terhadap obat modern yang bahan bakunya masih diimpor (Sri Yuliani, 2001)
Di Indonesia, kenyataannya obat tradisional (herbal medicine) ini penetrasinya hanyalah ditingkat konsumen langsung (end user); sedangkan ditingkat komunitas “kalangan medis” dalam pelayanan kesehatan formal–herbal medicine belum dapat diterima sebagai bagian dari pola pengobatan modern; oleh karena itu, perlu adanya upaya uji klinis yang dilakukan oleh pemain di industri obat tradisional ini.
Dari sisi kualitas, sudah banyak terbukti beberapa tanaman obat efektif digunakan untuk beberapa pengobatan. Di Indonesia, beberapa tanaman obat telah terbukti secara empiris dan turun temurun digunakan untuk mengobati berbagai penyakit, semisal daun sirih (Piper battle folium) digunakan untuk antiseptik; umbi jahe (Zingibers officinale Rosc) digunakan sebagai Analgesik. Antipiretik, dan antiinflamasi; daun katuk (Sauropus androgynus folium) digunakan untuk meningkatkan produk ASI.
Herbal: dari komoditas ke merek (branding)
Beberapa tanaman berkhasiat obat tersebut di atas; oleh industri jamu dan sebagian besar industri farmasi; telah diproduksi secara modern baik dalam bentuk sediaan kaplet, kapsul, maupun carian (syrup); dikemas; dan diindikasikan untuk pengobatan tertentu. Oleh beberapa Industri Farmasi terkemuka, beberapa herbal medicine, secara medis sudah teregistrasi sebagai fitofarmaka (yaitu herbal medicine yang telah mengalami uji klinis) diantaranya Fitodiar–obat diare non spesifik (PT. Kimia Farma, Tbk); Tensigard–obat darah tinggi dan X-gra–aprodisiaka (PT. Phapros, Tbk); ini menunjukkan herbal medicine telah memiliki standar yang baik sebagai obat alami yang berkhasiat medis.
Hasil uji klinis ini, mendukung bagi para industri jamu dan farmasi, untuk meningkatkan potensi pasar produk, baik lansung ke konsumen (end user) untuk menggunakan herbal medicine ini; dan juga upaya untuk menembus kalangan dokter untuk meresepkan herbal medicine karena telah terbukti secara ilmiah.
Pengembangan Herbal Medicine Di Industri Farmasi
PT. Phapros mengembangkan herbal medicine ke arah produk-produk Fitofarmaka. Melalui bendera Agromed; dua produk herbal medicine-nya telah mendapatkan uji klinis, yaitu Tensigard–obat darah tinggi dan X-gra–aprodisiaka. Kedua obat ini dipasarkan melalui jalur distribusi obat bebas. PT. Kimia Farma, Tbk juga mengembangan herbal medicine dengan bendera Fitolab (Fituno, Asifit, dan New Padibu); begitu juga PT. Soho, PT. Dexa Medica juga masuk ke dalam industri herbal medicine ini.
Permasalahan Klasik Bahan Baku Herbal Medicine
Karena produksi produk herbal medicine targantung dengan bahan baku herbal yang notabone-nya tergantung dari alam, maka ketersediaan bahan baku, menjadi perhatian penting untuk menjaga ketersediaan yang berkesinambungan; dibudidayakan secara baik sehingga kualitas simplisia yang dihasilkan seragam dan bermutu baik. Banyak bahan baku herbal yang masih sulit untuk didapatkan; menurut Amzu dan Haryanto (1991) dalam Yuliani (2001), ada 41 jenis tumbuhan obat langka yang perlu dilestarikan, di antaranya purwoceng (Pimpinella pruatjan), kayu angin (Usnea misaminensis), pulasari (Alyxia reinwardtii), pasak bumi (Eurycoma longifolia), dan kayu repat (Parameria barbata). Sehingga, dengan menjaga kesinambungan bahan baku, produksi herbal medicine dapat terjaga ketersediaanya.
Kendala lain dalam pengembangan herbal medicine adalah pemasaran, yaitu adanya keengganan unit pelayanan kesehatan formal seperti Puskesmas, poliklinik, atau rumah sakit untuk menggunakan obat tradisional dalam pola pengobatan, karena obat tradisional masih dianggap sebagai produk inferior atau kelas rendah. Untuk mengatasi masalah ini, upaya pengembangan obat tradisional ke arah fitofarmaka merupakan suatu keharusan, karena hanya dengan cara tersebut unit-unit pelayanan kesehatan dapat menerima penggunaan obat tradisional sehingga penggunaan obat tradisional berkembang secara meluas dan diterima oleh seluruh lapisan [Karmawati et al. (1996) dalam Yuliani (2001)]
Peran Marketing untuk pemasaran Herbal Medicine
Peran marketing sangatlah penting untuk memasarkan produk ini ke konsumen dan kalangan medis. Upaya marketing yang terintergrasi melalui perencanaan yang matang, baik research marketing sebelum, saat, dan setelah peluncuran produk-produk herbal medicine ke pasar manjadi sangatlah penting untuk melihat kesuksesan produk ini di pasar.
Dengan semakin terbukanya pengembangan produk-produk herbal medicine baik yang diluncurkan oleh perusahan farmasi ataupun perusahaan jamu ; membuka peluang untuk berkompetisi secara maksimal untuk dapat menghasilkan penjualan yang tinggi.
Sebagai produk baru, pertama, memang dukungan uji klinis berperan dalam menentukan arah kegiatan pemasaran. Dengan telah terbukti secara klinis, herbal medicine dapat di-endorse ke kalangan medis.
Kedua, dukungan manajemen untuk melihat bahwa pengembangan herbal medicine dari aspek pemasaran adalah kegiatan “investasi”. Dengan masuknya produk-produk herbal medicine ke dalam wilayah over the counter; yang kegiatan promosinya dilakukan langsung ke target market (end user). dimana, kegiatan pemasaran dilakukan melalui pendekatan promosi lini atas (above the line) melalui promosi televisi, radio, majalah, tabloid, atau surat khabar dan pendekatan promosi lini bawah (below the line) yaitu lewat leafling, brosur, direct selling, direct promotion, atau pendekatan ke dokter. Kegiatan pemasaran ini terang membutuhkan biaya marketing yang tidak sedikit. Oleh karena itu, dukungan manajemen sangat diharapkan untuk keberhasilan produk ini di pasar.














BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Perkembangan obat tradisional dalam beberapa decade belakangan ini amat sangat pesat karena masyarakat mulai menyadari bahwa pengobatan alami jauh lebih aman. Dimana masyarakat menggunakan obat yang telah turun temurun digunakan dengan khasiat yang tidak bisa dipertanyakan lagi.

Saran
Obat tradisional warisan nenek moyang sebaiknya semakin dikembangkan lagi ke dunia internasional.






Daftar Pustaka:
1.    Maheshwari, H. Pemanfaatan Obat Alami: Potensi dan Prosepek Pengembangannya. Tugas Mata Kuliah Falsafah Sains (PPs 702) Program Pasca Sarjana (S3) Institut Pertanian Bogor Juni 2002. Tidak Dipubikasikan.
2.    Yuliani, S. Prospek Pengembangan Obat Tradisional Menjadi Obat Fitofarmaka. Jurnal Litbang Pertanian 20 ( 3 ), 2001 Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Jl. Tentara Pelajar No. 3, Bogor 16111.
3.    Homepage www.bisnis.com











TUGAS MAKALAH
PERKEMBANGAN OBAT TRADISIONAL
unhas_logo.gif
OLEH
ANANDA LISDA PUTRI
N11110903

MAKASSAR
2013

1 comment: